Profil Singkat Perusahaan
Sejak awal tahun 1980 Shangri-La mengalami pertumbuhan bisnis yang pesat. Banyak hotel baru yang didirikan oleh group tersebut di wilayah Uni Emirat Arab, Asia Tenggara, Asia Pasifik, Australia, bahkan Amerika Utara. Namun, dari sekian banyak ekspansi yang dilakukan manajemen lebih berfokus pada pengembangan bisnisnya di Cina. Hal ini dikarenakan sejak akhir tahun 1980 pemerintah Cina mulai membuka diri kepada dunia internasional sehingga banyak event penting dunia yang diselenggarakan di kota tersebut. Selain itu Cina merupakan satu-satunya negara yang tidak terkena dampak krisis Asia pada tahun 1997-1998 karena pertumbuhan negara ini cenderung pesat sehingga kondisi bisnis Shangri-La pun tidak terkena dampak yang signifikan dari kejadian tersebut. Seiring berjalannya waktu Shangri-La yang berbasis di Hongkong mampu berkembang sebagai hotel berskala internasional dari yang sebelumnya berskala regional.
Strategi Shangri-La Hotel
Model bisnis yang ditawarkan oleh Shangri-La Hotel adalah pelayanan dengan ciri khas Asia kepada para tamunya yang dikenal dengan nama “Shangri-La Hospitality.” Perpaduan antara kebudayaan lokal, kesenian eksotik dan suasana yang meriah menjadikan Shangri-La Hotel mampu memberikan pengalaman yang tidak terlupakan kepada para tamunya. Lima prinsip dasar yang ditawarkan oleh Shangri-La dalam melayani tamunya adalah respect, humility, courtesy, helpfulness, and sincerity. Manajemen hotel memberikan kebijakan pendelegasian kepada para karyawannya dalam pengambilan keputusan tertentu untuk melayani keinginan para pelanggan dengan segera. Perusahaan ini mengelompokkan karyawannya ke dalam lima lapisan, yaitu Level 1 terdiri dari manajer divisi, Level 2 terdiri dari manajer departemen, Level 3 merupakan manajer bagian, Level 4 adalah supervisi front-line, dan yang terakhir adalah Level 4 berupa karyawan front-line.
Setiap tingkatan karyawan tersebut memiliki otoritas untuk menggunakan sejumlah dana tertentu yang mungkin dibutuhkan untuk melayani kebutuhan tertentu dari para pelanggan dengan sedia. Besarnya dana yang boleh digunakan untuk masing-masing level memang berbeda dan tidak perlu mendapat ijin dari manajemen untuk menggunakan dana tesebut asalakan memang ditujukan untuk melayani kebutuhan para tamu. Selain itu perusahaan ini juga memiliki akademi perhotelan sendiri. Tujuan dari didirikannya akademi perhotelan adalah agar para karyawan mampu meningkatkan keterampilan dan pemahamannya terkait pelayanan kepada tamu hotel. Fokus utama dari akademi ini adalah mengajarkan kepada para mahasiswanya untuk secara efektif menggunakan otoritas pengambilan keputusan yang telah diberikan oleh manajemen.
Budaya dan Kepemimpinan Organisasi
Sebagai hotel yang berbasis di kawasan Asia, maka sebagian besar karyawan hotel merupakan penduduk Asia dengan budaya dan perilaku setempat. Misalnya, untuk Hotel Shangri-La yang berbasis di Hongkong, kinerja karyawan di hotel tersebut memang relatif baik. Seluruh tugas yang diberikan kepada karyawan mampu dikerjakan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. Namun, kondisi ini pada akhirnya menjadi masalah tersendiri bagi perusahaan karena karyawan dengan model seperti itu lebih menyukai bila diarahkan oleh atasannya daripada memiliki inisiatif tindakan sendiri. Budaya yang diterapkan dalam perusahaan relatif lemah karena ada core value perusahaan yang berbenturan dengan budaya masyarakat setempat. Core value tersebut adalah pendelegasian wewenang kepada karyawan yang bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada tamu dengan segera, tetapi hal ini bertentangan dengan budaya lokal karyawan yang lebih menyukai diarahkan oleh atasan daripada harus memiliki inisiatif tindakan sendiri.
Masalah tersebut berusaha dipecahkan oleh manajemen dengan membukan akademi perhotelan yang mendidik para karyawannya untuk secara efektif menggunkan pendelegasian wewenang tersebut. Hal lain yang menjadi perhatian manajemen adalah masalah ekspansi perusahaan ke wilayah pasar Eropa dan Amerika. Ekspansi tersebut dilakukan karena tingkat persaingan hotel di kawasan Asia semakin ramai oleh hotel-hotel asing dan hotel lokal yang meningkatkan produktifitasnya dengan beraliansi dengan hotel dari luar. Untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas pelayanannya, suatu hotel harus memiliki jumlah karyawan yang lebih banyak daripada jumlah tamunya. Hal ini bukan menjadi masalah bila hotel tersebut hanya beroperasi di wilayah Asia saja karena sebagai wilayah dengan banyak negara berkembang, maka Asia merupakan pasar tenaga kerja dengan upah yang murah. Kondisi ini sangat menguntungkan perusahaan terutama yang bergelut dalam bisnis perhotelan karena manajemen hotel mampu meraih keuntungan yang cukup signifikan akibat kos tenaga kerjanya yang relatif murah. Sekali lagi, akademi perhotelan Shangri-La mampu menjadi solusi dari masalah ini karena perusahaan bisa memberikan pelatihan melalui akademi tersebut dan lulusan dari akademi tersebut bisa ditempatkan di seluruh wilayah dimana Shangri-La Hotels ingin melakukan ekspansi geografis. Dengan demikian masalah mengenai biaya tenaga kerja yang mahal dapat diatasi oleh pihak manajemen Shangri-La Hotel.
Lingkungan kerja dan kepemimpinan manajemen hotel sudah cukup baik karena penempatan dan jenjang karir karyawan juga jelas. Selain itu bentuk kompensasi perusahaan karyawan juga sudah mengikuti standar industri. Hal ini didukung dengan tingkat perputaran karyawan perusahaan yang rendah. Namun, masalah baru yang juga dihadapi oleh manajemen adalah loyalitas karyawan yang harus diperhatikan karena banyak kelompok hotel asing yang tertarik untuk membajak karyawan-karyawan terdidik Shangri-La dengan memberikan penawaran berupa kompensasi gaji yang nilainya lebih besar. Sehingga budaya perusahaan sebaiknya ditingkatkan lagi agar loyalitas dan produktifitas karyawan semakin baik.